Rabu, 28 Desember 2011

season ending for A

sambut suka cita
teriaklah kencang sebebas-bebasnya seraung-raungnya
sejadi apapun suara yang kau hasilkan
bila kemudian petang datang lalu kelam menyapa 
terimalah karena itu akibat kau telah menjalani pagi yang manis serta menjumpai siang yang terik berisik intrik

karena malam itu gelap
dan karena gelap kita tak bisa melihat
ups
karena pekat tak mampu melihat suasana
aku tak ingin itu, maka
aku sudah tersenyum selebar mungkin,
namun pekat nampaknya menghapus kesemuanya
lalu berdentinglah 
mungkin sembari menghitung biji-biji padi yang kau ukir dalam ulir mur dan baut
pekat, malam dan maghrib
pulang
lalu kembali ke kandang, selesai

pikiranku bebas
sambutlah aku di penghujung malam
kelak doaku akan terkabulkan kembali
:)

-warung 21 maret 2011-

Ra Kalap

Aku berjalan kembali, dan lagi aku temui jejak kuasa-Nya sembari berbicara: Oh, catatan ini milikku, Tuhan


Rabu, 03 Agustus 2011

Kotak Membaca dan Tulisan


"kelak engkau harus mencari tulisanmu sendiri, engkau bebas menulis ceritamu, dan yakinlah aku pasti dengan senang hati membacanya"


Sabtu, 16 Juli 2011

Nona Dan Pikiran

Nona, Udara yang mengalir dari sela-sela belikat dan rusuk bukanlah sesuatu yang biasa 
jika anda melakukannya


Kamis, 14 Juli 2011

Senin, 11 Juli 2011

Mentari


Sosoknya makin tegar dihadapan mata orang banyak. Dihadapan kami, matanya tampak tak berkristal. Masih tenang dan anggun. Bilakah dia mengesudahi kesedihan itu?

sore hanya menyisakan sedikit cahaya. Perlahan mentari akan meninggalkan buana, tempat dimana dia berjuang menyinari sepenuh tenaga. Mentari dan sore, seperti kala ini. sisa-sisa tenaga masih tersisa, tapi dia meniadakan rasa lelah itu, meniadakannya dihadapan kami. Dia seperti memiliki mataharinya sendiri, mungkin bisa juga membuat dan memasangnya dilangit-langit kehidupannya. Tapi sayangnya kami kehilangan mentari itu. sebuah mentari yang menemani langkah kami sehari-hari. Mentari yang mencairkan kebekuan putus asa kami. mencairkan penat dan juga beban pikiran? sekali lagi, ia nampak tak pernah tergoyahkan. Kokoh, tanpa air yang menetes.

Suasana haru, bahkan bila engkau mengenal tsunami, ini bahkan lebih dahsyat. Kami kehilangan pagi di sore hari. akibatnya air mata tak terbendung, air yang semula mengkristal pecah, meleleh menetes menuruni pipi hendak mengerumuni tanah yang sedari tadi mendengar jerit hati yang tak pernah terucap oleh bibir. mungkin ia berhasil membaca bahasa hati kami. Tapi sekali lagi aku melihat, sosok itu kokoh, tanpa suatu apa yang menderai."saya benci kata selamat tinggal!!! dan saya tak pernah ingin mengucapkannya, saya tak ingin mengucapkan kata selamat tinggal.!!" rentetan kata yang masih terngiang, mewakili kami yang hadir disini. setengah tak percaya, mosi kami kepada keadaaan yang ada. Benarkah kami harus kehilangan matahari itu?benarkah? tapi sosok itu tetap kokoh. Diam.

"hubungan kita secara formal memang terpisahkan, tapi secara emosional, kita adalah keluarga selamanya"

pikiranku meloncat-loncat. entah bagaimana dengan yang lain, mungkin jadi sama. bilakah mentari itu tak terbit esok hari?aku melihatnya kembali. tapi sekarang ia bungkam tanpa kata. Tiadakah air mata dimatanya? keringkah muara air yang berada dimatanya? atau mungkin ia semakin kokoh melihat kepiluan kami disore ini?

dan berakhir sudah, pada akhirnya kami pasrah. Keadaan tak bisa kami rubah. kami kehilangan mentari. terpukul, lemah dan tak berdaya. tapi masih ada esok hari, dan kami telah berjanji untuk memperbaiki dan lebih berprestasi esok hari. selkali lagi aku mendapati ia begitu kuat kehilangan mentari. tak seperti kami.

kami lantas beranjak, aku mendapati ia memeluk mentari itu erat. memeganginya erat lalu teisak.
oh, ia juga manusia.

Secarik Wall facebook


Aku takkan bisa membuatmu pulang, menjadikan indah seperti dulu. Bila kali ini yang hadir hanya secarik wall di facebooku, aku akan terima. Memang ruang telah memisahkan, namun mengertilah bagaimana sudah beberapa masa hubungan ini terjalin. Hanya kepada Dia aku mengharap aku atau kamu disini. Lagi. Bilamana kau melihatku saat ini, tersenyumlah. Aku hadir untukmu, dan senyummu menghapus gelora rindu, terimalah cincin dijari manismu. Kita akan menikah. Segera, saat waktu itu. Betapa bahagianya. Dan kini, aku hanya mengenangmu, kau tak kembali. Biarlah aku mengingatnya, sebelah dari sepasang cincin. Kau pelangiku, secarik tulisan itu tautan jarak dan waktu hubungan kita di dunia.
Semrawut
karya: marwie hendrianto


Tapal jalanan yang hitam legam
disambut hangatnya mentari sore hari,
kerikil berlarian,
tak karuan,
sambut pulangnya
sambut datangnya
sambut kefantasiaannya,
nona nona bersiap sembari membawa gelasan limun penuh es,
melepas dahaga bagi mereka diujung jalan yang indah itu,
di bawah panorama yang menampilkan keinginan bagi siapa yang tak ingin mengunjunginya

hey seorang bocah dekil,hendak kemanakah?
Engkau mau lewat jalan ini?
Bocah kecil itu dihajarnya,dijatuhkannya,dihujam dan dirajamnya dengan duri dan batu dan cacian serta cemoohan serta ucapan kebencian serta umpatan dan hardikan dan tendangan kaki indah bersepatu bucheri dan ludahan yang keluar dari mulut mereka yang indah bergincu,
mereka terhormat,pun jalannya,

HEY BOCAH TEGAKKAN KEPALAMU,
bersihkan ingus dan air mata serta peluh dan bercak darah di bajumu,
bocah,ingatlah bagaimana kau memegang ketapelmu,
ingatlah masa itu

Nona kecil

NONA KECIL
karya : Marwie Hendrianto

Nona kecil rambut lurus sebahu
berlari laju dengan nafas yang memburu
sejenak mari bertanya kepadanya,ia lari kearah mentari terbenam

nona kecil bermata biru itu menyibak rambut
bersuara yg tiada tahu maknanya
bilakah dia bercerita kenapa lariannya menuju sana?
Ah nona,
gulita segera saja akan menghampiri,

peluh membanjiri,
nona berlari,hingga terjatuh,
tersandung batu
lalu mati,
ia tak pernah mencapai tempatnya

Rumah Gerimis


Berlari sudah,
terimalah aku apa adanya. Dan aku menjadi diriku sendiri. Aku pada prinsipku. Aku pada langkah awal, tak ada alasan yang akan mematahkan langkah awal, biarlah keduanya menjalani kehidupannya. Dan aku kini menghirup sejuknya udara bersama rerumputan yang hijau. Tuhan, kuasa-Mu.
***
suasana pekat, mendung, beberapa guruh bersenandung diatas awan. Nenek angin berlarian kecil,mendinikan kedinginan sebelum malam. Oh aku ditemani dua pasang bola mata itu, diantaranya mana yang harus pergi. Tidak, lebih baik tidak keduanya untuk saat ini pikirku. Ah,basah baju ini juga mengibaratkan basahnya pikiranku kearah hal yang tak pasti,hal yang tak jelas,hal yang tak berarti. Oh keduanya tak mengerti keadaanku.
"dingin sekali" ucap salah seorang diantara keduanya.
Orang ini, dengan bola mata yang sangat ku impikan. Dengan paras yang menawan serta gemulai yang begitu memukau. Bilakah dia yang harus pergi?Ataukah aku harus memilih yang lain?Nona disebelahnya tak kalah mempesona,dan mungkin lebih terjaga,parasnya tersusun lebih dari sekedar wajah ayu,namun kesantunan dan keperjuangan serta daya tangguhnya yang luar biasa. Andai mereka satu, tapi kenyataan memang tak selalu sama Keduanya. Ah, pilihan dari pilihanku bagai soal SNMPTN yang butuh banyak sekali pertimbangan dan perhitungan. Oh,keduanya begitu mempesona.
"bicara tentang hati lagi yuk"ucap satu dari keduanya.
Suasana makin basah karena tetes air mulai rajin jatuh dari awan. Mereka membasahi sekitar,menjadikan dingin tak terbendung lagi. Seperti dingin suasana diantara kami.
"bagaimana jika aku tak memilih diantara kalian?"ucapku"lebih baik kalian bersama orang lain, sepertinya Tuhan tidak menggariskan salah satu dari kita untuk terluka"
"lantas kedekatan aku dan kamu selama ini?"ucap si mata bening
belum sempat terjawab muncul kembali lontaran pertanyaan dari si gestur menawan"lalu pujian dan tatapan mata darimu itu untuk siapa?"
semua terdiam,termasuk aku.Tak ada suara lain kecuali tetesan hujan turun yang jatuh mengenai genting di gubuk ini.
Aku memegang tangan mereka. Aku tangkupkan menjadi satu. Kutatap masing masing,sehangat-hangatnya.
"bagaimana kalau kita bertiga berjanji?"
kami mengangguk
***
Sore masih menggelayuti kota itu.Anak-anak satu per satu datang dengan cerianya ke rumah almarhum pak Misbakhun. Mereka berlarian kesana kemari,riang,ceria. Pak misbakhun dengan usia kepala tiga akhir masih bujangan. Ketika ditanya jawabannya selalu sama: nunggu gadis berbola mata indah dan bergestur menawan.
Beberapa orang sempat bertanya,kenapa sanggar bermain itu diberi nama RUMAH penantian hujan.
Tak ada yang tahu. Bahkan hingga waktu tujuh langkah terakir saat orang2 dengan terisak meninggalkan peristirahatan terakirnya. Yang pasti ada dua orang wanita tak dikenal ikut melayat. Mungkinkah itu orang yang selama ini akan kembali ke rumah penantian hujan pak misbakhun?
original posted by Marwie OCOL

Kamis, 07 Juli 2011

FILM

Sebagai orang jawa saya mengerti Ada istilah "Jer basuki mawa bea"(segala sesuatu itu membutuhkan biaya).Hal itu memang benar adanya,namun pepatah tersebut terasa kurang enak didengar bagi kalangan bawah yang ingin mengenyam pendidikan. Alhamdulillah,adanya dana BOS terasa sangat membantu,karena pihak sekolah tidak lagi berhak memungut bayaran dari keluarga siswa. Pada posting kali ini saya ingin berbagi film inspiratif tentang dunia pendidikan di negeri kita, sungguh amat baik nilai yang dikandung dalam film pendek ini.
Selamat menyaksikan.......
SURAT UNTUK BUNDA
Part 1



SURAT UNTUK BUNDA
part 2



diposkan juga di RUMAH TUGAS PGSD

Kamis, 30 Juni 2011