Senin, 11 Juli 2011

Rumah Gerimis


Berlari sudah,
terimalah aku apa adanya. Dan aku menjadi diriku sendiri. Aku pada prinsipku. Aku pada langkah awal, tak ada alasan yang akan mematahkan langkah awal, biarlah keduanya menjalani kehidupannya. Dan aku kini menghirup sejuknya udara bersama rerumputan yang hijau. Tuhan, kuasa-Mu.
***
suasana pekat, mendung, beberapa guruh bersenandung diatas awan. Nenek angin berlarian kecil,mendinikan kedinginan sebelum malam. Oh aku ditemani dua pasang bola mata itu, diantaranya mana yang harus pergi. Tidak, lebih baik tidak keduanya untuk saat ini pikirku. Ah,basah baju ini juga mengibaratkan basahnya pikiranku kearah hal yang tak pasti,hal yang tak jelas,hal yang tak berarti. Oh keduanya tak mengerti keadaanku.
"dingin sekali" ucap salah seorang diantara keduanya.
Orang ini, dengan bola mata yang sangat ku impikan. Dengan paras yang menawan serta gemulai yang begitu memukau. Bilakah dia yang harus pergi?Ataukah aku harus memilih yang lain?Nona disebelahnya tak kalah mempesona,dan mungkin lebih terjaga,parasnya tersusun lebih dari sekedar wajah ayu,namun kesantunan dan keperjuangan serta daya tangguhnya yang luar biasa. Andai mereka satu, tapi kenyataan memang tak selalu sama Keduanya. Ah, pilihan dari pilihanku bagai soal SNMPTN yang butuh banyak sekali pertimbangan dan perhitungan. Oh,keduanya begitu mempesona.
"bicara tentang hati lagi yuk"ucap satu dari keduanya.
Suasana makin basah karena tetes air mulai rajin jatuh dari awan. Mereka membasahi sekitar,menjadikan dingin tak terbendung lagi. Seperti dingin suasana diantara kami.
"bagaimana jika aku tak memilih diantara kalian?"ucapku"lebih baik kalian bersama orang lain, sepertinya Tuhan tidak menggariskan salah satu dari kita untuk terluka"
"lantas kedekatan aku dan kamu selama ini?"ucap si mata bening
belum sempat terjawab muncul kembali lontaran pertanyaan dari si gestur menawan"lalu pujian dan tatapan mata darimu itu untuk siapa?"
semua terdiam,termasuk aku.Tak ada suara lain kecuali tetesan hujan turun yang jatuh mengenai genting di gubuk ini.
Aku memegang tangan mereka. Aku tangkupkan menjadi satu. Kutatap masing masing,sehangat-hangatnya.
"bagaimana kalau kita bertiga berjanji?"
kami mengangguk
***
Sore masih menggelayuti kota itu.Anak-anak satu per satu datang dengan cerianya ke rumah almarhum pak Misbakhun. Mereka berlarian kesana kemari,riang,ceria. Pak misbakhun dengan usia kepala tiga akhir masih bujangan. Ketika ditanya jawabannya selalu sama: nunggu gadis berbola mata indah dan bergestur menawan.
Beberapa orang sempat bertanya,kenapa sanggar bermain itu diberi nama RUMAH penantian hujan.
Tak ada yang tahu. Bahkan hingga waktu tujuh langkah terakir saat orang2 dengan terisak meninggalkan peristirahatan terakirnya. Yang pasti ada dua orang wanita tak dikenal ikut melayat. Mungkinkah itu orang yang selama ini akan kembali ke rumah penantian hujan pak misbakhun?
original posted by Marwie OCOL

Tidak ada komentar: