Kamis, 03 Mei 2012

DERUANMU


DERUANMU,
“Sayank, ini aku, datang ke rumahmu tanpa kau ajak. Aku datang, Beb!”


Perasaan kalang kabut menyelimuti. Jalanan terasa panjang, dan waktu terasa begitu sempit. Pikiranku hanya tentang dirimu, kamu, kamu dan kamu. Tak ada yang lain. Teriknya mentari yang menampilkan fatamorgana dihorisontal pandangan jalan tak membuatku merasa terganggu, laju motor tetap, bahakan kian aku percepat. Bayangan ini menakutkan dan memilukan sekali. Ternyata harus dalam kondisi seperti ini aku ke rumahmu, melihatmu untuk kali terakhir.

Pikiran yang kala kabut itu menemukan oasenya, manakala aku mengingat-ingat bagaimana sabarnya dirimu. Ya, di depan teras rumahku, kala sore hendak menuju petang, duduk berdua menatap langit. Menikmati secangkir moccacino.

“Beb, main ke rumahku yuk.  Eh, bukan rumahku sih, rumah simbahku.” Pintamu kala itu.

Sejenak aku terdiam, tak mau aku buru-buru menjawabnya. Sebab sebelum ajakanmu itu engkau pernah dengan “paksa” membawaku kerumahmu, sekedar menganti baju, katamu sialnya kau hanya membiarkanku diluar rumah tanpa ajakan masuk sama sekali. Memori kala itu menggamangkanku.
“ Mau ngapain, sih? Pake ke rumahmu segala?” tanyaku.

“ Ya nggak apa-apa sih. Cuma main, pengen ngenalin kamu ke simbah” jawabmu.

Buru-buru aku mengernyitkan dahi. Pengalaman pahit sebelum denganmu mengakukan lidahku untuk berkata iya. “Kayaknya nggak deh, Beb,” jawabku.

Sepintas aku melihat guratan kekecewaan dari wajahmu, namun buru-buru kau menutupinya dengan senyuman manis palsumu. Yah, engkau benar-benar memahamiku.

“Kenapa sih, kok nggak mau?” tanyamu.

“ Beb, sebelum ini aku pernah punya banyak pacar, dan kamu tahu sebanyak itu pula aku diajak main ke rumah mereka. Nyatanya apa? Mereka semua, nggak ada yang bisa serius denganku, kesannya aku tuh kayak nggak dihargai, jadi dengan mudahnya acuh, akhirnya nggak ada yang komitmen berjanji . Aku nggak mau hal menyakitkan itu terulang kembali. Lagian ngapain sih pake acara dikenal-kenalin segala?”

Ucapanku kala itu terasa memberondong pikiranmu. Menghujanimu dengan logika, ego, perasaan, nalar, dan sesuatu yang tak kau harapkan. Sebuah ajakan yang ternyata dijawab dengan keengganan. Membuatmu tertunduk lesu. Tak sepatah katapun terlontar lagi darimu. Hanya berulangkali helaan nafas keluar masuk, bergantian mengisi rongga parumu.

“Tenang aja, Beb. Aku mau main ke rumahmu, tapi sebelumnya lamar aku dulu” ucapku.

Entah sejak kapan, air mataku kini menetes dengan derasnya. Menuruni mata, lalu perlahan bergerak menuju pipi. Menjadi teman dalam perjalananku kali ini.

Lalu Semenjak saat itu, tak pernah ada lagi ajakan darimu untuk berkunjung ke rumahmu. Engkau sepertinya memahami dan menghargainya benar. Aku tahu, karena engkau adalah orang yang sederhana, perhatian dan pengertian.

Namun, dua hari lalu, ajakan itu kembali muncul. Mengejutkan. Luar biasanya dirimu menahan ajakan itu sampai satu tahun.

“Beb, main ke rumahku, yuk. Sekali ini aja, besok udah nggak kok, keburu nggak sempet, ntar,” pintamu.

Namun, ajakanmu itu aku biarkan. Bahkan sejak dua hari lalu, hanya ada bahasa bisu untukmu, sebuah punishment atas tindakan yang aku anggap salah. Sementara kau sudah berupaya meminta maaf. Hanya diam-dan diam. Sebuah ketololan yang saat ini aku sesalkan, membuat  tetes air mata mengalir tiada henti, seperti gerojogan Tawangmangu, yang terus saja menghujani pipi dengan derasnya.

Perlahan, motorku menjamah halaman depan rumahmu. Segera aku parkirkan, lalu dengan gontai melangkah menuju teras depan rumahmu. Beberapa orang menyambutku, diantaranya sudah mengenakan pakaian hitam-hitam. Suasana menjadi sendu. Hanya ada kesedihan, serta orang-orang yang dengan senyum, namun tetap terbungkus kesedihan.

Tak ada rasa yang mendefinisikan perasaanku saat ini. Saat semuanya seolah menjadi hitam. Tidak ada gumam, hanya matayang sembamnya kian menjadi, Mataku kemudian beradu dengan keranda terbungkus kain hijau. Didepannya terpampang foto dengan wajah tampanmu,berbalut figura coklat. Aku berusaha bangun jika ini mimpi, namun isak tangis kawan-kawanmu membuatku tersadar dan menangis. Sebuah keadaan yang membuatku menjadi orang paling tolol.

“Sayank, ini aku, datang ke rumahmu tanpa kau ajak. Aku datang, Beb!”



Tidak ada komentar: